BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sumpah
atau al-qasam merupakan suatu hal atau kebiasaan bangsa Arab dalam
berkomunikasi untuk menyakinkan lawan bicaranya. Kebiasaan-kebiasaan yang
dilakukan oleh bangsa Arab merupakan suatu hal yang oleh al-Qur’an
direkonstruksi bahkan ada yang didekonstruksi nilai dan maknanya. Oleh karena
itu, al-Qur’an diturunkan di lingkungan bangsa Arab dan juga dalam bahasa Arab,
maka Allah juga menggunakan sumpah dalam mengkomunikasikan Kalam-Nya.[1]
Namun, konsep sumpah tersebut
berbeda dengan kebiasan bangsa Indonesia, sumpah lebih mengacu kepada sebuah
kesaksian atau menguatkan kebenaran sesuatu dalam forum resmi, seperti
kesaksian saksi dalam pengadilan dan sumpah jabatan, dengan tekad menjalankan
tugas dengan baik.
B. Rumusan Masalah
1) Apa
pengertian sumpah dalam Al-Qur’an?
2) Apa manfaat sumpah dalam Al-Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian,
Redaksi Dan Lafal Sumpah
Kata
sumpah berasal dari bahasa Arab اْلقَسَمُ (al-qasamu) yang bermakna اْليَمِينُ (al-yamiin)
yaitu menguatkan sesuatu dengan menyebutkan sesuatu yang diagungkan dengan
menggunakan huruf-huruf (sebagai perangkat sumpah) seperti و , ب dan
huruf lainnya.[2]
Berhubung
sumpah itu banyak digunakan orang untuk menguatkan sesuatu, maka kata kerja
sumpah dihilangkan sehingga yang dipakai hanya huruf ب-nya saja.
Kemudian huruf ب diganti dengan huruf و,[3]
seperti firman Allah dalam surat Al-Lail ayat 1 yang berbunyi:
Artinya:”Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)”.
(QS. Al-Lail: 1)
Kadang-kadang
sumpah juga menggunakan huruf-huruf ت, seperti firman Allah dalam surat
Al-Anbiya’ ayat 57:
Artinya:”Demi Allah, Sesungguhnya Aku akan melakukan tipu
daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya”. (QS.
Al-Anbiya’: 57)
Tapi,
yang paling lazim digunakan atau dipakai dalam sumpah adalah huruf و.[4]
Dan
dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, sumpah diartikan sebagai:
- Pernyataan
yang diucapkan secara resmi dengan saksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu
yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dan
sebagainya).
- Pernyataan
yang disertai tekat melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenaran atau
berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar.
- Janji
atau ikrar yang teguh ( akan menunaikan sesuatu).[5]
Sedangkan
menurut Louis Ma’luf, dalam konteks bangsa arab, sumpah yang diucapkan oleh
orang Arab itu biasanya menggunakan nama Allah atau selain-Nya. Pada intinya
sumpah itu menggunakan sesuatu yang diagungkan seperti nama Tuhan atau sesuatu
yang disucikan.[6]
Akan
tetapi, bangsa Arab pra-Islam yang dikenal sebagai masyarakat yang menyembah
berhala (paganism). Mereka menyebutkan atau mengatakan sumpah dengan
atas nama tuhannya dengan sebutan Allah, seperti dalam yang tersurat dalam
al-Qur’an surat Al-Ankabuut ayat 61 yang berbunyi:
Artinya:”Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada
mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan
bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Maka betapakah mereka (dapat)
dipalingkan (dari jalan yang benar)”. (QS. Al-Ankabuut: 61)
Dan
selanjutnya, juga dalam surat Al-Ankabut ayat 63 dijelaskan bahwa:
Artinya:”Dan Sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada
mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air
itu bumi sesudah matinya?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah:
“Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya)”.
(QS. Al-Ankabut: 63)
Dhamir (kata
ganti) هم dalam surat Al-Ankabut ayat 63
tersebut, seperti dikutip Toshihiko Izutsu[7]
berarti “the pagan Arabs”. Izutsu berpendapat ada lima konsep Allah
menurut bangsa Arab pra-Islam seperti yang disebut oleh al-Qur’an yaitu:
- Allah
adalah pencipta dunia;
- Allah
adalah pencipta hujan, lebih umum lagi Dia-lah yang menciptakan kehidupan
di permukaan bumi;
- Allah
satu-satunya yang berhak disebut dalam sumpah;
- Allah
adalah obyek monoteisme “sementara”;
- Allah
adalah Tuhannya Kabah (Lord of Ka’bah).[8]
Sedangkan huruf-huruf yang berfungsi sebagai perangkat
sumpah atau untuk membentuk lafal sumpah ada 3 macam[9]
yaitu:
1.
Wawu (و )
Seperti
firman Allah dalam surat Adz-Dzariyaat ayat 23 yang berbunyi:
Artinya:”Maka
demi Tuhan langit dan bumi, Sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar
(akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan”. (QS. Adz-Dzariyaat:
23).
Dengan masuknya huruf wawu – sebagai huruf qasam – maka ’amil
(pelaku)nya wajib dihapuskan. Dan setelah wawu harus diikuti dengan isim
dlahir.
2.
Ba’ ( ب )
Seperti
dalam firman Allah dalam surat A-Qiyaamah ayat 1 yang berbunyi:
Artinya:”Aku
bersumpah demi hari kiamat”. (QS. Al-Qiyaamah: 1)
Maka
dengan masuknya huruf Ba’ ini boleh disebutkan ’amil-nya sebagaimana
contoh di atas, dan boleh juga menghapusnya, sebagaimana firman Allah dalam
surat Shaad ayat 82 tentang Iblis yang bersumpah untuk menyesatkan manusia:
Artinya:”Iblis
menjawab: “Demi kekuasaan Engkau Aku akan menyesatkan mereka semuanya. (QS.
Shaad: 82).
Setelah
huruf Ba’ boleh diikuti isim dlahir sebagaimana telah dicontohkan di
atas, dan boleh juga diikuti oleh isim dlamir.
3.
Ta’ ( ت)
Seperti
dalam firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 56:
Artinya:”Dan
mereka sediakan untuk berhala-berhala yang mereka tiada mengetahui
(kekuasaannya), satu bahagian dari rezki yang Telah kami berikan kepada mereka.
demi Allah, Sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang Telah kamu
ada-adakan”. (QS. An-Nahl: 56).
Dengan
masuknya huruf Ta’ ini, ’amil (pelaku)-nya harus dihapuskan dan tidak
bisa diikuti sesudahnya kecuali isim jalalah (nama Allah), yaitu الله
atau ربّ.
Pada
dasarnya, kebanyakan al-muqsam bih (sesuatu yang dijadikan dasar atau
landasan sumpah) itu disebutkan, sebagaimana pada contoh-contoh terdahulu. Dan
kadang-kadang dihapus dengan ‘amil (pelaku)-nya. Bentuk yang seperti ini
banyak sekali, misalnya firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Takaatsur ayat 8
yang berbunyi:
Artinya:”Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu
tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)”. (QS.
At-Takaastur: 8)
Pada
dasarnya, kebanyakan al-muqsam ‘alaih (sesuatu yang disumpahkan)
disebutkan. Seperti dalam firman Allah :
Artinya:”Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka
sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: “Memang, demi Tuhanku,
benar-benar kamu akan dibangkitkan, Kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang
Telah kamu kerjakan.” yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS.
At-Taghaabun : 7)
Dan
kadang-kadang boleh dihapus, seperti dalam firman Allah ta’ala :
Artinya:”Qaaf, demi Al Quran yang sangat mulia”. (QS.
Qaaf : 1).
Selain
dari unsur-unsur dan redaksi sumpah tersebut di atas, yang paling fundamental
adalah rukun sumpah yang merupakan unsur-unsur sumpah muncul. Nashruddin Baidan
mengungkapkan bahwa rukun sumpah ada 4, yaitu:
- Muqsim (pelaku sumpah).
- Muqsam Bih (sesuatu yang
dipakai sumpah).
- Adat Qasam (alat untuk
bersumpah).
- Muqsam “Alaih (berita yang
dijadikan isi sumpah atau disebut juga dengan jawab sumpah).[10]
B. Manfaat
Sumpah Dalam Al-Qur’an
Manna
al-Quththan[11]
berargumentasi manfaat sumpah merujuk disiplin ilmu balaghah, al-ma ‘ani. Dalam
ilmu ini ada tiga tingkatan psikologis mukhatab atau lawan bicara yaitu ibtidai
yaitu;
- Lawan
bicara tidak ada asumsi apa-apa terhadap mutaknllim (pengujar dalam
‘tradisi lisan atau penulis’ dalam ‘tradisi tulisan’).
- Kondisi
mukhatab itu ragu-ragu terhadap ucapan mutakkallim, maka
dinamakan thalaby.
- Mukhatab
tidak percaya terhadap ucapan pengujar dinamakandengan inkary.
Pada
kondisi yang psikologis thalaby dan inkary dibutuhkan suatu
penegasan. Keadaan psikologis manusia inilah al-Qur’ an merangkumnya dengan
konsep qasam yang mengadaptasi terhadap kebiasaan (bahasa) Arab.
Sedangkan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan bahwa faedah dalam bersumpah
adalah:
- Menjelaskan
tentang agungnya al-muqsam bihi (yang dijadikan landasan atau dasar
sumpah).
- Menjelaskan
tentang pentingnya al-muqsam ‘alaih (sesuatu yang disumpahkan) dan
sebagai bentuk penguat atasnya.[12]
Oleh karena itu, tidaklah tepat bersumpah kecuali dalam
keadaan berikut :
- Hendaknya
sesuatu yang disumpahkan (al-muqsam ‘alaih) itu adalah sesuatu yang
penting.
- Adanya
keraguan dari mukhaththab (orang yang diajak bicara).
- Adanya
pengingkaran dari mukhaththab (orang yang diajak bicara)
Terlepas
dari apakah argumen yang dipaparkan Mana’ul Al-Quththan dan Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin tersebut apologis, secara hermeneutis sebenamya setiap pengarang,
teks dan pembaca tidak terlepas dari konteks sosial, politis, psikologis,
teologis, dan konteks lainnya dalam ruang dan waktu tertentu, maka dalam
memahami ‘sejarah’ yang diperlukan bukan hanya transfer makna, melainkan juga
transformasi makna.
Dengan
begitu, tidak semua doktrin dan pemahaman agama (tafsir) berlaku sepanjang
zaman dan tempat, mengigat antara lain gagasan universal Islam tidak semuanya
tertampung dalam bahasa Arab yang bersifat lokal-kultural, serta terungkap
dalam tradisi kenabian. Itulah sebabnya setiap zaman muncul berbagai ulama yang
menafsirkan ajaran agama dari al-Qur’ an yang tidak ada batas akhimya. Jika
logika ini diteruskan maka akan timbul pertanyaan yang menggelisahkan, bisakah
manusia memahami dan menggali gagasan-gagasan Tuhan yang universal namun
terwadahi dalam bahasa lokal (bahasa Arab, ini pun sudah tereduksi Arab versi
Quraisy, bukan sebagai bahasa Arab lingua franca). Hanya saja, dalam
psikologi linguistis dikatakan, sebuah ungkapan dalam bentuk omongan atau
tulisan kadang kala kebenarannya serta maksudnya berada jauh ke depan. bukan
berhenti apa yang diucapkan ketika itu. Artinya kebenaran itu bersifat
intensional dan teleologis.[13]
Ada
pertanyaan yang menarik yang dilontarkan oleh az-Zarkasyi dan asSayuthi. Apa
gunanya sumpah dalam al-Qur’an bagi orang beriman, yang pasti percaya firman
Tuhan. Atau sebaliknya, percuma saja kalimat sumpah dalam alQur’an yang
ditujukan kepada orang kafir. Bagaimanapun juga mereka tidak percaya kebenaran
al-Qur’an. As-Sayuthi[14]
berargumentasi bahwa alQur’ an diturunkan dalam bahasa Arab, sedangkan
kebiasaan bangsa Arab (ketika itu) menggunakan al-qasam ketika
menguatkan atau menyakinkan suatu persoalan. Sedangkan Abu al-Qasim al-Qusyairi
berpendapat al-qasam dalam al-Qur’an untuk menyempumakan dan menguatkan
argumentasi (hujjah). Dia beralasan untuk memperkuat argumentasi itu
bisa dengan kesaksian (syahadah) dan sumpah (al-qasam). Sehingga
tidak ada lagi yang bisa membantah argumentasi tersebut, seperti QS.3:18 dan
QS.1O:53.[15]
Alasan
yang dipakai as-Sayuthi terjadi persoalan serius kalau memakai teori sastra
kontemporer aliran strukturalisme dengan konsep penulis, teks dan pembaca.
Dalam teori resepsi strukturalis pembaca penulis dianggap”’mati’, yang
menentukan makna (meaning) adalah pembaca. Secara tidak disadari
as-Sayuthi menganggap Tuhan yang menciptakan penanda (signifier) dalam
menghasilkan tanda (sign) mengikuti alur dan kebiasaan dari pembaca
petanda (reader/signified) signified Padahal dalam konsep teologi Sunni,
kalam Tuhan sebagai penanda dan ‘menentukan’ petanda. Berbeda dengan
alasan al-Qusyairi fungsi sumpah dalam al-qur’ an hanya penegasan argumentasi
untuk pembaca (reader) ayat suci sebagai pembawa ‘tawaran’ wacana (discourse),
yang mempengaruhi kepada pembaca.
Namun
sebagai kitab suci seperti yang digagas Mohammed Arkoun[16],
al-Qur’an adalah sebuah teks yang terbuka dan teks yang menelaah berbagai
situasi batas kondisi manusia: keberadaan, cinta kasih, hidup dan mati.
Pemyataan Arkoun ini mengisyaratkan adanya dialektika aan psikologis manusia
yang ‘diajak bicara’.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-qasam
(sumpah) merupakan kebiasaan bangsa
Arab untuk. menyakinkan lawan bicaranya (mukhatab). Semenjak dari pra
Islam, masyarakat Arab sudah akrab memakai qasam untuk menegaskan bahwa yang
dikatakannya itu benar. Setelah Islam datang, sumpah boleh dilakukan hanya
dengan nama Allah. Kalau melanggar bisa terkena sanksi teologis dengan ‘vonis’ syirk,
menyekutukan Tuhan. Berbeda dengan al-Qur’an, Allah secara absolut
menggunakan sumpah tersebut. Dia biasanya bersumpah dengan dua cara yaitu
dengan menyebut diri-Nya yang Maha Agung atau dengan menyebut ciptaan-Nya.
Sisanya bersumpah dengan nama makhluk-Nya. Maksud menyebutkan ciptaan-Nya itu
untuk menyebutkan keutamaan . (fadlilah) dan manfaat bagi kesejahteraan
manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.
Dr. Manna’ Al-Qhatthan, Mabahits fi ’Ulum Al-Qur’an, Mansyurat
al-‘Ashr al-Hadits, 1990
Prof.
Dr. H. Abdul Djalal HA, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2000
Muhammad
bin Alwi Al-Maliki, Zubdah Al-Itqon fi ‘Ulumul Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, cet. 1,
1999
Buchori,
Didin Saefuddin. Pedoman Memahami Al-Qur’an, Bogor: Granada
Sarana Pustaka. 2005
Chirzin, Muhammad. Al-Qur’am dan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: PT. Dana
BhaktiPrimaYasa.1998
Manna’Khalil Al-Qattan.(Mabahitsu fi Ulumil Qur’an) Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Jakarta: PT Halim Jaya.2009
[2]
Nashruddin Baidan. Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998. Hal: 213
[6]
Louis Ma’luf. al-Munjid.
Beirut: al-Mathba’ah al-Kathaliqiyyah. 1956. Hal: 664
[8]
Ibid.
[9]
Manna Qaththan. Mabakhisfi
Ulum Al-Qur’an. Terj: Moh. Abdul A’la. Jakarta: Cendawan.
Hal: 207
[10]
Nashruddin Baidan. Wawasan Baru
Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005. Hal: 203
[11]
Ibid. Hal: 213
[12]
Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin. Ulumul
Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2000. Hal: 205
[13]
Anonim. Tradisi, Kemodernan
dan Metamodernisme. Yogyakarta: LidS. 1996. Hal: 26
[14]
Jalaluddin ‘Abdrurrahman ibn Abu
Bakar as-Suyuthi. Al-Itqan Fi ‘Ulum Al- Qur ‘an. Terj:
Abdul Wahab. Yogyakarta: Wacana Persada. 2000. Hal: 259
[16]
Mohammed Arkoun. Nalar Islami
dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru. Jakarta: INIS.
1994. Hal: 195